Pendakian Rinjani (Part 6)

Dalam sebuah pendakian, tidak hanya tekad, fisik dan mental saja. Tapi, kejujuran juga sangat dibutuhkan.

                              ***
Setelah sarapan dan berkemas, kami melanjutkan perjalanan menuju Plawangan Senaru. Lagi-lagi, jalur yang disuguhkan tidaklah mudah. Bahkan, lebih sulit dari jalur-jalur sebelumnya.

Di awal-awal perjalanan, kami masih bernyanyi-nyanyi, dan saling meledek untuk menambah semangat. Walau itu akan membuat kami cepat lelah. Kami berjalan berbaris satu-satu. Dua pria di depan, aku dan teman wanitaku di tengah, dan satu pria di belakang untuk mengawasi.

Langkahku mulai gontai, walau jalur belum terlalu menanjak. Aku memaksakan untuk terus bergerak, walau beberapa kali tersandung batu atau akar yang menonjol keluar tanah. Teman priaku bertanya, apakah aku masih kuat untuk berjalan. Aku mengangguk yakin.

Aku terus melangkah. Jatuh terjerembab, dengan tas berat di punggung. Aku tersandung oleh akar yang sedikit keluar dari tanah.

"Tidak usah sungkan. Bilang saja dengan jujur, jika memang butuh istirahat. Kita akan tetap berhenti, walau beberapa menit yang lalu sudah berhenti."

Aku diam, merasa bersalah. Seharusnya tidak memaksakan diri. Karena, jika terjadi sesuatu, aku akan lebih merepotkan mereka.

Kami beristirahat sejnak. Berhenti di hamparan rumput yang sangat luas. Hanya ada warna hijau, putih dan biru yang kami lihat. Mata kami terbuka lebar, decak kagum dan ucapan syukur memenuhi dada.

Setelah kembali merasa siap, kami melanjutkan perjalanan. Masih tetap menanjak. Masuk ke dalam rimbunnya pohon. Matahari hanya mengintip di celah-celah daun. Udara sejuk membuat kami tidak cepat lelah.

Perjalanan ini sangat panjang. Hari mulai sore dan tantangan baru saja dimulai. Kami melewati tanjakan-tanjakan curam, dengan kemiringan 70°-80°. Tidak ada anak tangga. Kami harus berpegangan pada batu-batu yang menonjol, sebagai tumpuan atau pijakan.

Kaki kami harus dibuka lebar. Lutut ketemu kepala, agar bisa terus menanjak. Tangan dan kaki harus kuat untuk menopang badan dan beban tas yang tidak ringan.

Tanjakan terakhir kami lewati dengan mulus. Saat kepala muncul dari balik batu. Kami disuguhkan tanah datar. Bersama senja yang mulai kemerah-merahan. Lelah kami tergantikan.

Lagi-lagi, kami hanya diam dan bersyukur. Menikmati matahari dan langit berwarna jingga, biru dan semburat hitam. Senja di atas gunung tidak kalah indahnya dengan senja di pesisir pantai.

Angin bertiup kencang, tetapi keindahan senja yang tersaji menghangatkan hati kami di Plawangan Senaru.

Komentar