Pendakian Rinjani (Part 3)

Hampir tengah hari kami sampai di tempat perkemahan. Beristirahat sejenak, lalu memasak untuk makan siang. Bukan hanya sekadar mie instan, tetapi, makanan yang bergizi.

Selama pendakian, kami tidak hanya memakan masakan sendiri. Tapi, terkadang bertukar makanan dengan pendaki di tenda sebelah.

Sebelum meneruskan perjalanan selanjutnya, kami memilih untuk tidur siang. Mengganti tidur kami yang kurang.

Pukul tiga sore, kami melanjutkan perjalanan. Dari Pelawangan Sembalun menuju danau Segara Anak. Perjalanan yang tidak mudah, walau jalurnya menurun.

Dalam perjalanan, kami bertemu dengan pendaki lain. Saling sapa dan menyemangati adalah ciri khas pendaki. Karena, dalam pendakian, yang dibutuhkan tidak hanya kemauan yang kuat. Tapi, sikap yang baik juga sangat perlu.

Saat perjalanan tersebut. Saya dan satu teman pria saya memisahkan diri dari tiga teman lainnya. Bukan karena kami ingin berduaan, tetapi karena ada hal yang harus dituntaskan.

Saya berjalan menuju semak, di balik pohon yang sedikit rimbun. Sudah waktunya untuk membuang isi perut yang mengendap selama tiga hari.

Hari mulai gelap. Kabut tipis turun perlahan. Jalanan tidak sejelas tadi, jarak pandang pun semakin pendek. Sisa kami berdua saat hari benar-benar gelap.

Dengan sedikit terburu-buru kami melewati turunan curam berbatu. Sekali salah langkah kami akan terperosok dan terantuk batu.

Kami berdua diterpa lelah dan takut. Ada jurang menganga yang siap menerima kedatangan kami kapan saja. Pada satu titik kami berhenti, kami menemukan persimpangan.

Kami hanya berdua, berharap ada yang lewat. Di mana-mana gelap, hanya ada sinar dari head lamp saat itu. Kami duduk tanpa bersuara. Mungkin sedang berdoa.

Saat itu saya berpikir, itu adalah akhir hidup saya. Tenda dan bahan makanan dibawa oleh teman kami yang lain. Di tas saya hanya ada sebungkus cokelat cha-cha. Kami bisa mati kedinginan jika seperti itu.




Komentar