Biola Berwarna Jingga
Ketukan pintu terdengar nyaring dari lantai bawah. Aku bergegas untuk membukanya, sambil berlalu, kulirik jam yang ada di kamarku.
Tidak ada siapa-siapa. Aku menuju kamar, dan kembali terdengar ketukan pintu, bahkan lebih keras dari sebelumnya.
"Iya, sebentar," teriakku.
"Orang gila mana, yang hampir tengah malam bertamu ke rumah orang," gerutuku.
"Selamat malam, Bu, ada paket buat ibu, dan tolong tanda tangan disini." Seraya menyerahkan kertas.
"Iya, selamat malam, paket dari mana ya pak?" tanyaku.
"Terima kasih bu, saya pamit." Kurir tersebut berlalu tanpa menjawab pertanyaanku.
Dengan hati-hati, aku membuka paket tanpa identitas pengirim itu. Sebuah biola berwarna jingga, dengan nama 'Senja' terukir dibaliknya. "Senja," ucapku, sama seperti namaku, tetapi aku tidak bisa bermain biola.
Perasaanku mendadak tidak enak, aku jadi teringat Diorama. Biasanya, dia bisa menenangkanku di saat-saat seperti ini, tetapi sudah dua hari terakhir tidak dapat dihubungi. Jika di telepon, selalu di luar jangkauan.
Aku amati lagi, dan mencoba memainkannya, menggesek dengan perlahan, bahkan sangat pelan. Pada gesekan kedua, aku seperti terserap pada sebuah kejadian menakutkan. Aku terkejut, lalu melepaskan biola tersebut. Napasku tidak beraturan, keringat membasahi wajah dan tubuhku.
Kulirik jam di dinding ruang tamu, sudah pukul 03.00, ada getaran yang membuatku untuk memainkannya lagi. Kembali aku memainkannya, kali ini dengan yakin dan gesekan yang mantap. Aku kembali melihat potongan-potongan peristiwa.
Dua orang sedang bertengkar, dan aku mengenal prianya, itu Diorama, tetapi aku tidak mengenal wanita di dalam situ.
Sang wanita dengan carier di punggungnya, dan menenteng case biola berwarna jingga.
Permainanku semakin cepat dan keras, membuat potongan peristiwa semakin jelas. Sang wanita pergi meninggalkan Diorama, lalu sang wanita memulai pendakian, dengan gapura bertuliskan 'Sembalun'.
Potongan-potongan peristiwa itu, membuatku semakin tertekan, tetapi aku tidak bisa menghentikan permainan biola ini. Aku takut, aku berteriak sekuat tenaga. Senar biola putus, permainan terhenti dengan sendirinya.
Aku menangis, terduduk di ruang tamu. Melihat kearah jam, sudah pukul 10.00.
Terdengar suara ribut dari depan rumahku. Kulihat, Cakrawala masuk dengan menangis, dan beberapa polisi mengikuti dari belakang. Disusul sebuah peti mati berwarna putih, lalu Diorama masuk dengan wajah sangat berduka.
Aku menghampiri Diorama, tetapi dia tidak menyadari keberadaanku.
"Diorama, apa yang terjadi? kenapa wajahmu terlihat sangat berduka? kenapa Cakrawala menangis histeris?"
Mereka membuka tutup peti, dan aku ada di dalam sana. Aku tercekat, badanku limbung, terduduk lemas di sudut ruangan.
Peristiwa itu kembali berputar di kepalaku, dan wanita itu adalah aku.
Aku bertengkar dengan Diorama, karena tidak mengijinkanku mengadakan konser di puncak gunung. Aku ingat kejadian itu, tengah malam saat akan summit, aku terjatuh bersama dengan biola di tangan.
Biola berwarna jingga, nama 'senja' terukir di baliknya.
Lalu semua menjadi ringan, melayang, seperti kapas.
Komentar
Posting Komentar