Desa Jingga
Aku menghampiri seorang pria paruh baya, dengan papan berwarna jingga bertuliskan nama Senja, dengan dialeg jawa kental ia berteriak-teriak
"Senja dari Jakarta."
Bapak paruh baya membawaku ke penginapan, di satu desa dengan hamparan sawah yang mulai menguning.
Seorang petugas menyapa lalu mengantarkanku ke kamar yang sudah dipesan. Aku mengucapkan terima kasih sebelum ia benar-benar beranjak.
Kembali kutemukan amplop berwarna jingga di atas tempat tidur. Bertuliskan 'Pukul delapan pagi akan dijemput. Selamat beristirahat'.
***
Telepon kamar hotel membuyarkan lamunanku. Terdengar suara wanita dari seberang sana, memberitahu ada yang menunggu di lobi hotel.
Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan menyapaku, dan memintaku untuk ikut bersama dengannya.
Ia mengantarkanku ke sebuah panti asuhan.
Beberapa anak kecil menyambutku dengan riang. Mereka mengajakku masuk ke dalam panti, yang sedang mengadakan acara pesta ulang tahun.
Aku terharu, karena mereka terlihat sangat bahagia.
Seorang anak kecil menghampiriku, memberikan amplop berwarna jingga, yang bertuliskan 'Lanjutkan perjalanan'.
Aku segera meninggalkan panti, dan dibawa ke sebuah tempat doa dekat perkebunan bunga matahari yang sangat luas.
Seorang biarawati yang ku kenali dari pakaiannya menghampiriku, memberikan amplop berwarna jingga yang bertuliskan 'Selamat ulang tahun, Senja'.
Aku lupa, hari ini aku berulang tahun. Aku terlalu sibuk mengikuti permainan 'amplop berwarna jingga'.
Aku Berlutut di depan gua maria. Mendaraskan satu putaran rosario sebagai ucapan syukur.
"Tuhan, aku mencintai Dio ... " Doaku belum selesai, ketika seseorang ikut berlutut di sisiku. Aku menoleh sejenak, dadaku berdegup sangat cepat, napasku menjadi berat.
Diorama ada di sampingku, berlutut di sebelahku, tertunduk dengan mata terpejam. Aku mencoba menenangkan diri, menyelesaikan doa yang tertunda.
"Ikuti aku," ucapnya sambil berjalan di hadapanku. Sedikit berteriak aku bertanya kepadanya.
"Apa maksud dari semua ini?" Dia tidak menjawab, asyik berjalan dengan cepat.
Aku berhenti, membiarkan dia meninggalkanku jauh di belakangnya. Aku duduk di pinggir perkebunan bunga matahari. Napasku hampir habis.
Diorama menarik tanganku.
"Sebentar lagi sampai, nanti keburu gelap."
Aku mengikutinya dengan wajah di tekuk.
Aku memasuki sebuah jalan yang tidak terlalu besar. Mataku berbinar, senyuman mengembang dari bibirku. Bunga seruni berwarna jingga terhampar di hadapanku.
Kami menuju sebuah pendopo di tengah perkebunan.Tangannya menyentuh bahuku, saat aku sedang berdiri menghadap hamparan bunga seruni. Menikmati keindahannya.
Dia merangkul bahuku, kusandarkan kepalaku di bahunya.
Diorama bercerita desa ini bernama Desa Jingga. Karena tanaman di sini memiliki gradasi warna seperti senja.
"Maaf, membuatmu penasaran dan bingung," tambahnya lagi.
Kami berdiri berhadapan, dia mengalungkan rosario di leherku sebagai hadiah ulang tahun. Dia berbisik pelan di telingaku. "Selamat ulang tahun, Senja."
Tubuhku meremang, menunduk tersipu.
Mataku terpejam. Kecupan di keningku mendarat dengan lembut.
Genggaman tangan kami semakin erat, ketika bibir kami saling mengisi.
Telepon genggamnya berbunyi, menghentikan kegiatan kami. Aku melirik, seseorang dari Jakarta menelpon.
"Maaf, aku harus pulang segera. Kita ambil barang-barangmu di hotel."
Aku terdiam dan segera melihat langit, hari sudah senja.
"Pulanglah, aku tidak ikut pulang bersamamu hari ini."
Diorama kembali mengecup keningku dan berbisik "Aku sudah menyiapkan tiket pulang untuk esok lusa, di dalam amplop berwarna jingga dalam kamar mu."
Dia segera berlalu meninggalkanku saat senja mulai turun, bersama hamparan bunga seruni berwarna jingga.
Komentar
Posting Komentar