Ayah, Aku Rindu (Part 3)

Kehidupan rumah tangga kami, kini berbeda. Seperti ada jarak. Antara aku dan Diorama, suamiku.

Walau sesungguhnya, kami berada dalam satu atap. Tetapi aku merasa, dirinya jauh berada entah di mana.

Aku menghapirinya, yang masih sibuk dengan deretan angka di laptop.

"Mas,besok kita jadi kerumah Bapak, kan?" tanyaku sambil menggelayut manja.

"Sudah malam. Kamu belum tidur, sayang?" Ia membelai kepalaku, tanpa memalingkan wajahnya dari laptop.

Kucoba menghangatkan suasana. Kupeluk ia dari belakang, membisikkan kata mesra. "Mas, aku rindu."

Ia tersenyum. Mengecup bibirku dengan terburu-terburu. Segera mengangkat telepon dan menjauh dariku.

"Sayang, kita undur dulu ya, ke rumah Bapaknya."

"Telepon dari siapa tadi?" tanyaku dengan sedikit ketus.

"Senja?" Mataku nanar menahan air mata.

"Dengan atau tanpa kamu, Mas. Aku akan tetap pergi." Kutinggalkan ia, menuju kamar.

"Dik, dengerin mas dulu."

"Apalagi yang harus aku denger, Mas?" Air mataku tumpah, tidak tertahan.

"Kamu mulai berubah, Mas. Kamu bukan lagi Diorama yang aku kenal dulu. Apa kamu sadar itu?"

Ia diam. Menatapku terkejut.

"Kamu lebih asyik dengan bisnis barumu dan ponselmu. Membalas chat dari wanita itu. Aku merasa kita menjadi jauh. Kamu tidak lagi perhatian kepadaku. Tidak lagi ada kecupan sebelum tidur. Tidak lagi ada pelukan saat aku gundah. Dan Kamu tidak pernah menjawab, setiap kutanya siapa Senja." kataku nyaris berteriak.

"Siapa dia, Mas? Siapa Senja? Ada hubungan apa kamu sama dia?"
Ia berusaha memelukku. Mencoba menenangkanku.

Kulepaskan pelukannya. Menatap tajam dirinya. Kuhapus dengan kasar air mata yang masih mengalir.

Tidak ada satu katapun keluar dari bibirnya. Nafasnya menderu, dadanya bergemuruh.

                             ***
Klakson kereta menyadarkanku dari lamunan. Kini kami benar-benar jauh. Berpuluh-puluh kilometer jaraknya. Teringat pertengkaran hebat kemarin malam.

Kutinggalkan Diorama, bersama sepucuk surat di atas meja, di bawah tiket yang sudah ia pesan.

Komentar