Rokok
Wajahnya begitu kacau. Bulu tebal tumbuh subur di atas bibir dan dagunya. Sedari tadi, ia hanya diam. Menikmati batang demi batang rokok tanpa terlihat canggung. Menghisap penuh kenikmatan, tanpa memperdulikan aku di sisinya.
Kusembunyikan rasa heran di balik senyumku. Baru pertama kulihat ia merokok, sejak pertama aku mengenalnya.
Kuhabiskan kopi pesanannya dengan cepat. Tanpa tersisa setetes pun. Meletakkan cangkir dengan kasar, membuat lamunannya terhenti, dan mematikan rokoknya dalam asbak.
Ia menggenggam tanganku. Menanyakan kenapa dengan isyarat matanya. Kuhembuskan napas dengan kesal. Lalu bersandar pada dadanya yang bidang.
"Sejak kapan kamu merokok? Aku tidak pernah melihatmu melakukan itu."
Ia tidak menjawab. Hening juga yang kudapatkan.
"Ada apa denganmu? Bicaralah agar aku bisa mengerti."
Lagi-lagi, ia tidak menjawab. Memegang wajahku dengan kedua tangannya, hingga wajah kami tidak memiliki jarak. Melumat bibirku dengan lembut.
Kusudahi lumatan bibirnya. Menatapnya penuh selidik. Ia mengangguk dan tersenyum.
"Otakku terlalu penuh, sehingga aku memerlukan cara untuk meringankannya." Tangannya mulai mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya.
Sebelum rokok itu berpindah tangan, aku mengambilnya dan menyulutnya untukku sendiri.
Diorama meradang. Merampas rokok dari mulutku. Meremasnya dengan gemas.
"Aku juga perlu itu, jika hanya untuk meringankan kepenatanku," kataku, tak kalah meradangnya dengan Diorama.
Tidak ingin memperkeruh suasana, kami sama-sama diam. Sibuk dengan perasaan kami masing-masing.
"Lalu, apa artinya aku untukmu, jika kamu tidak mau berbagi penat denganku?"
Kutinggalkan ia sendirian, bersama serakan tembakau di atas meja.
Komentar
Posting Komentar