Menara Jingga
Aku meminta Senja memakai penutup mata, dan mengikutiku tanpa banyak bertanya.
"Aku akan memberikan kejutan yang indah untukmu."
Suara ombak menghantam karang terdengar dengan jelas. Tidak sabar melihat muka kagetnya akan kejutan ini.
Aku menggandeng tangannya. Membawanya menaiki anak tangga dengan hati-hati. Ia mengikuti dengan yakin, walau genggaman tangannya sangat erat.
"Jangan. Sebentar lagi sampai," tukasku, ketika tangannya nyaris membuka penutup matanya.
Kami sudah berada di puncak menara. Aku memintanya berhenti dan berdiri, tetap dalam diam.
"Bisa aku buka penutup matanya?" tanyanya dengan terbata.
Aku diam berdiri di hadapnnya. Wajah Senja menjadi tegang. Tangannya mengarah ke wajahku.
"Lintang?" katanya pelan nyaris berbisik.
Kupejamkan mata. Merasakan sentuhan tangannya di wajahku. Masih dalam keheningan yang menyenangkan.
Perlahan kubuka penutup matanya. Aroma tubuhnya menyeruak ke dalam hidung. Beberapa detik mata kami saling mengikat. Sebelum ia memalingkan pandangannya karena canggung.
Ia berdecak kagum. Melihat pemandangan dari atas menaray. Langit dan laut memberikan warna yang sangat kontras. Jingga dan biru bertemu dalam satu pandang.
"Terima kasih, Lintang. Ini indah sekali," ucapnya sambil menggam tanganku.
"Menara ini bernama menara jingga. Dibangun di atas bukit dekat laut. Kita bisa menikmati senja bersama deru ombak menghantam karang. Perpaduan yang sangat indah. Kamu suka?" Seraya menatapnya lembut.
Kami kembali bertatapan. Wajah kami nyaris tak berjarak. Kupejamkan mata, merasakan napas yang menderu seperti ombak.
"Lintang, kenapa menara ini bernama jingga?" bisiknya pelan, menahan senyum jahil.
Mataku terbelalak. Bibirku mengulum senyum malu. Lalu kubisikan padanya, "Karena pemilik menara ini suka dengan Senja."
"Senja memang patut dikagumi," ucapnya, dengan mata menerawang jauh.
"Aku menyukai kamu, Senja. Lebih dari senja yang di langit," batinku.
Lalu kami sama-sama menikmati senja yang berbesa, di atas menara jingga.
Komentar
Posting Komentar