Ayah, Aku Rindu (Finish)
Kumasuki rumah melalui pintu belakang. Menuju kamar di mana ayah berada. Kulihat ia tertidur pulas dengan kain kesayangan ibu menutupi tubuhnya.
Kupandangi wajah renta yang terlelap sangat damai. Keriput menghiasi seluruh tubuhnya. Kucium tangan renta itu. Sehingga membuatnya terbangun.
"Baru sampai, Nduk?" Dengan tersenyum, ia merubah posisinya. Duduk di sisi tempat tidur.
Aku tidak menjawab. Kusandarkan kepalaku di pangkuannya. Ayah mengusap kepalaku dengan lembut. Tak terasa air mata mengalir dengan leluasa. Hanya isak yang terdengar saat ini.
"Sudah ... Istirahat saja dulu. Kamu pasti lelah, setelah menempuh sembilan jam perjalanan. Ini hampir subuh."
Aku menggeleng. Tangisku semakin keras. Semakin dalam kubenamkan kepalaku di pangkuannya. Seperti yang kulakukan saat aku kecil.
"Ada apa, Nduk? Kok, ya ... seperti anak kecil." Ia menahan tawanya, tetap dengan usapan lembut di kepalaku.
"Aku rindu, Ayah," ucapku dengan nada manja.
Ayah tertawa mendengar penjelasanku. Mengacak-acak rambutku.
"Jangan bohong sama ayah. Ayah sudah tahu semuanya, Nduk. Diorama sudah menceritakan semua kepada ayah. Tentang masalah kalian. Tentang seseorang yang bernama Senja. Diorama suami yang baik. Dia sangat menyayangimu. Kamu harus percaya sama dia."
Tiba-tiba kurasakan sentuhan seseorang di punggungku. Itu bukan tangan ayah.
Kutolehkan wajahku. Mataku terbelalak nyaris mencuat dari tempatnya. Dadaku berdegup kencang, seperti sedang maraton.
Diorama berjongkok di belakangku, ia tersenyum memandangku. Sejak kapan ia berada di situ, pikirku. Wajahku kaku seketika, rasa marah terhadap Diorama masih memenuhi diriku.
Ayah tersenyum kepadaku dan mengangguk, ketika Diorama mengajakku beristirahat.
Kuikuti Diorama dari belakang menuju kamar masa kecilku, dengan wajah tidak bersahabat.
"Kamu baik-baik saja, kan?"
Aku diam, masih dengan senderut.
"Bersih-bersih dulu sebelum tidur. Kamu pasti sangat lelah." Kecupan mendarat di keningku.
Aku berbaring membelakangi pria yang telah lima tahun bersamaku. Ia memelukku dari belakang.
"Aku sangat cemas, setelah menemukan surat darimu. Yang kamu letakkan di atas meja, di bawah tiket pesawat. Berkali-kali aku coba menelponmu, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kuputuskan untuk segera menyusulmu ke rumah ayah. Seandainya, kamu mau menungguku sebentar lagi. Maafkan aku, Seruni. Membuatmu jadi seperti ini. Membuatmu marah dan terluka."
Aku masih diam. Menyembunyikan air mata yang telah mengalir.
"Kamu pasti bertanya-tanya tentang seseorang yang bernama Senja. Kamu cemburu dengan Senja? Nanti, saat di Jakarta, aku akan mengenalkanmu dengan Senja. Maka, kamu akan mengerti sikapku selama ini terhadapnya."
Pelukannya terasa nyaman, bahkan lebih nyaman dari pelukan-pelukan sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar