Kisah Pria Trotoar

Pria paruh baya di trotar jalan yang tak terlalu ramai, menunduk khusyuk. Ia sedang membuat kincir angin dari plastik. Beberapa kincir angin yang sudah jadi, ditata di hadapannya dengan rapi.

Sambil menunggu jemputan. Aku mendekatinya, sedikit berbincang, dan memebeli beberapa kincir angin.

Senyumnya sumringah. Sisa-sisa ketampanannya saat muda, masih terlihat jelas. Walau keriput sudah menjalari tubuhnya.

Dalam obrolan kami. Ia menceritakan kisah hidupnya. Ia terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya adalah pemilik sebuah perusahaan. Sedangkan, ibunya sibuk berbagai macam arisan.

Selama hidupnya ia sangat dimanja. Masa mudanya, ia habiskan dengan bersenang-senang. Ia tidak mau melanjutkan kuliah, karena ia berpikir, harta orangtuanya tidak akan pernah habis.

Sampai ketika, bencana itu datang. Umurnya sudah mencapai pertengahan dua puluh. Orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hartanya habis untuk membayar hutang perusahaan.

Semenjak itu, ia berubah sedikit demi sedikit. Mencoba bekerja, walau serabutan. Ia menjadi kuli bangunan, dengan mengandalkan tenaga yang ia punya.

Ia merasa bersalah, karena dalam pernikahan tidak dikaruniai anak. Menurutnya itu adalah kesalahan di masa lalunya, yang sering berganti wanita.

Kini, diusianya yang tidak lagi muda. Ia masih harus tetap bekerja, untuk mempertahankan hidup ia dan istrinya.

Sebelum aku pergi, ia berpesan kepadaku.
Agar aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Selalu bersyukur dan terus berusaha.

Lalu aku pergi, dengan beberapa kincir angin plastik. Yang mengingatkanku pada masa kecil. Tak lupa doa untuknya, agar disisa hidup, ia selalu merasa bahagia.

Komentar