Sebuah akhir
Kala itu, aku masih terlalu kecil untuk mengerti sebuah kehilangan. Kehilangan untuk selama-lamanya.
Pada malam itu, hujan sangat deras. Guntur menyalak bersahutan, seperti berlomba menuju garis akhir.
Aku duduk di pangkuan ayah. Di samping tempat ibu berbaring dengan segala alat medis di tubuhnya.
Ayah menunduk, mulutnya tak berhenti berdoa. Tangannya menggenggam tangan ibu yang terbaring lemah. Aku hanya bersandar di dada ayah yang bidang. Mendengar detak jantung yang tak beraturan.
Gerak mulut ayah semakin cepat. Air matanya mulai menetes. Kulihat napas ibu semakin lemah. Gambar di monitor menjadi sebuah garis lurus dengan dengung yang panjang.
Dalam diam, Ayah memelukku sangat erat. Tetapi air matanya tidak juga berhenti keluar. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku sedih melihat ayah seperti itu.
Ayah hanya berkata, Ibumu sangat kuat. Ia bertahan lebih lama dari perkiraan dokter. Menurut dokter, Ibumu hanya bertahan dua tahun dari kelahiranmu. Tetapi ia bertahan sampai dengan umurmu empat tahun.
Ia berjuang melawan kanker rahim yang dideritanya. Ia bertahan hanya untuk membesarkan dan merawatmu. Kini tugasnya sudah selesai. Ia pergi dalam damai.
Setelah kepergian ibu. Kami hanya tinggal berdua di rumah sederhana. Aku sering melihat ayah termenung. Memandangi foto-foto ibu. Ia hanya akan tersenyum jika kami saling pandang.
Aku langsung menghampirinya, memeluknya dan duduk di pangkuannya. Ia akan bercerita tentang ibu dan kisah mereka.
***
Ayah tertidur di kursi kesayangannya. Masih memeluk foto ibu. Air mata tampak di sudut matanya.
Aku bersimpuh di hadapannya. Mencium kedua tangannya. Kepasrahan dan perjuangannya dalam membesarkanku, tidak bisa kubalas dengan apapun.
Aku menjerit histeris, seperti salak guntur yang bersahutan. Ayah terkulai lemas. Wajahnya pucat. Tidak ada lagi detak dalam tubuhnya.
Perjuangannya telah selesai. Babak terakhirnya telah dilalui dengan pasrah. Ia berpulang dalam kedamaian yang dalam.
Komentar
Posting Komentar