Antara Wasiat dan Masa Depan

Hari pernikahannya semakin dekat. Tidak sampai enam bulan lagi. Keperluan pernikahan sudah hampir selesai. Gedung, catering, perias, souvenir sudah dipesan untuk tanggal yang sudah ditentukan. Yang belum ia persiapkan adalah undangan dan gaun pengantin. Ia belum ia pilih. Mulai dari warna ataupun model yang akan ia kenakan.

Semakin mendekati hari yang katanya membahagiakan itu. Wajahnya lebih sering teelihat murung. Bibirnya penuh senderut. Matanya seperti mata panda, berwarna hitam di kelopan bawah mata.

"Sikapnya berubah," katanya, pada suatu siang, ketika kami sedang menikmati makan siang.

Aku asyik menikmati makan siangku tanpa merespon perkataannya. Aku melirik ke arahnya, ia hanya mengaduk-aduk makanan yang ada di hadapannya. 

"Berbeda bagaimana maksudmu?" kataku, setelah suapan terakhir.

Ia diam. Makanannya semakin diacak. Tiba-tiba, air matanya jatuh seperti bendungan yang tidak dapat menahan debit air. Aku bingung, menghadapi orang nangis. Gelas jatuh karena tersenggol tanganku. Bunyinya sangat nyaring, membuat mata orang-orang di sekitar melihat ke arah kami.

Dengan suara pelan, sedikit berbisik, "Sssttt ... Jangan nangis di sini. Malu." Kuusap bahunya agar sedikit tenang.

Aku beranjak dari tempat makan, mengajak ia ke tempat yang lebih sepi. Kuberikan segelas air putih dan selembar tisu untuk menyeka eye liner yang luntur mengotori wajahnya.

Aku belum bertanya lagi. Membiarkan ia menangis sampai merasa lega. 

Bersambung...

Komentar