Sia-Sia

Kala itu aku berpamitan pada Lintang untuk menepi sejenak. Rehat dari rutinitas ibu kota. Lintang tidak bereaksi terhadap perkataanku. Ia asyik menyeruput kopi Arabica yang dicampur dengan sejumput garam. Badannya sedikit bergoyang mengikuti irama musik jazz yang dimainkan di kedai langganan kami. 

"Kamu tau manfaat minum kopi dicampur dengan sedikit garam?" katanya dengan santai. 

Aku menggeleng sambil mengernyitkan dahi.
"Apa enaknya minum kopi asin," timpalku. 

Lintang tidak menjawab. Mulutnya disumpal rokok kretek. Matanya berkeliaran seperti mencari sesuatu. Lalu, beranjak meninggalkan aku dengan tanda tanya. 

Kebiasaan. Rutukku dalam hati. Sambil bersandar pada kursi, mataku mengiringi langkahnya. Lintang menghampiri seorang wanita dan berpelukan sejenak. Lalu, menghilang dari pandanganku. 

Aku menarik napas panjang, paru-paruku sepertinya membutuhkan lebih banyak oksigen. Segelas cokelat yang tidak lagi panas masih berada di tempatnya—belum bergeser sedikit pun. 

"Ayo pulang." Tiba-tiba Lintang sudah berada di belakangku. Mengacak-acak rambutku. 

"Tapi pembicaraanku belum selesai," kataku merajuk. 

"Tapi aku sudah selesai," katanya, dengan nada seperti meledek. 

Mataku melotot. Memonyongkan bibir ke arahnya. Lintang kembali duduk dengan tawa yang ditahan. 

"Kamu, mau pergi? Ya, pergi saja. Tidak ada urusannya denganku, toh." Dialeg jawanya keluar. Ekspresinya datar. Kembali ia menyalakan rokok kretek dan menyumpal mulutnya. 

"Sejauh apapun kamu pergi dengan alasan menepi dari hiruk pikuk ibu kota itu percuma. Percuma! Jika kamu masih membawa-bawa dia dalam kepala dan hatimu." 

Lintang menarik tanganku. Merangkulku sambil berjala ke luar kedai. 



Komentar