Menepi Sejenak (Part 2)

Ia menepikan mobil di sebuah kedai. Menggandengku memasuki kedai yang bernuansa hitam. Aroma kopi menguar ketika pintu dibuka. Petugas yang lalu lalang tersenyum ramah. 

Kami diantar ke meja, yang menurutku itu tempat terbaik di kedai ini. Beratap langit luas dan hanya ada beberapa set meja dengan jarak yang berjauhan. Di sisi yang lain pemain Saksofone asyik memainkan musik jazz. 

Mataku asyik berkeliling memperhatikan pengunjung-pengunjung lain. Beberapa pasang anak manusia yang sedang memadu kasih menempati beberapa meja di tempat ini. Mereka terlihat bahagia, senyumnya selalu merekah. Matanya terlihat sejuk, memandang satu dengan yang lain. 

"Mau pesan apa?"

"Seperti biasa," jawabku, tanpa menoleh ke arahnya. 

"Mereka terlihat bahagia, ya. Kenapa kita nggak bisa kayak gitu?" ucapnya lagi. 

Kualihkan tatapanku padanya. Memandang bingung dengan ucapan yang barusan keluar dari mulutnya. 

Ia memajukan wajahnya ke arahku, "Kamu terlihat lebih tua. Padahal kita tidak bertemu hanya beberapa minggu." 

Aku merengut penuh senderut. Sialan! Gerutuku dalam hati. 

"Lalu, apa yang kamu dapatkan dari kepergianmu itu?" 
"Agar dicari?!" Belum sempat aku membuka mulut, kata-kata pedas keluar dari mulutnya.

Dadaku bergemuruh. Mataku mulai terasa pedas. Tidak boleh satu tetes air mata pun, yang keluar, kataku dalam hati. Kutarik napas panjang dan dalam, lalu, kuembuskan perlahan bahkan sangat pelan. Aku tidak boleh terpancing olehnya. 

Pesanan kami datang. Secangkir kopi Arabica tanpa gula dan segelas cokelat panas. 





Komentar