Pelukan Terakhir

Masih terasa pelukan terakhir itu. Pelukan yang ia berikan ketika matahari hampir tenggelam. Ia mendekap tubuhku begitu hangatnya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. 

Aku menikmatinya dalam diam, meski dadaku bergemuruh. Pelukan itu terasa lebih lama dari pelukan-pelukan sebelumnya. Matahari sudah benar-benar tenggelam ketika ia melepaskan pelukannya. 

Kami duduk bersisian di bangku taman sebuah bukit. Lampu-lampu taman yang temaram mulai mengeluarkan cahaya. Kusandarkan kepalaku di bahunya. Tangan kami masih saling menggenggam. 

Aku ingin menikmatinya lebih lama bahkan bahkan sangat lama. Ia kembali mendekapku—mengecup kepalaku. Aku tetap diam dan berharap ia tidak melepaskanku. 

"Maafkan aku. Aku harus pergi." Perlahan ia melepaskan pelukannya. 

Aku mengangguk tenang, seolah-olah tegar. Sedangkan, dadaku terasa semakin sesak.

"Pada akhirnya, hari ini tiba juga," kataku pelan, dengan napas yang dalam.

Ia menatapku aneh, mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku. 

"Sejak awal kita menjalin hubungan dan berkomitmen, aku sudah mempersiapkan diri untuk hari ini. Hari di mana kita akan berpisah. Kita berdua sudah tau akibat dari hubungan kita. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang harus dimaafkan atau meminta maaf. Kita berdua salah. Hubungan kita adalah sebuah kesalahan." 

Kepalaku menunduk. Air mataku mengalir begitu saja. Seperti bendungan yang tidak lagi mampu menahan air hujan. Kedua tangannya memegang wajahku. Kami saling bertatapan. Tangannya menghapus air mata yang masih saja keluar. 

"Jangan menangis lagi. Aku ingin perpisahan kita disertai dengan senyuman." 


Komentar