Sebuah Alasan
Klakson mobil Lintang berbunyi nyaring di depan rumah, tidak lama setelah aku menelepon—memintanya untuk menemaniku menghabiskan sisa hari. Ia menyambutku dengan senyuman yang memamerkan gingsul di taring bagian atas.
"Kopi untukmu. Arabica dengan sejumput garam." Kulemparkan botol berisi kopi ke arahnya.
"Mau ke mana?" tanyanya, sambil menyeruput kopi yang kuberikan.
Aku mengangkat bahu, "Terserah," kataku.
Lintang membawaku menuju pinggiran kota. Membelah jalanan yang tidak terlalu ramai. Mungkin, orang -orang malas ke luar rumah karena cuaca sedikit mendung.
"Kenapa kamu belum menikah?" Tiba-tiba pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Ia tertawa mendengar pertanyaanku.
"Apalagi yang kamu cari? Bukankah semuanya sudah siap?"
"Harus banget aku jawab pertanyaan kamu?"
Aku mengangguk. Menunggu jawaban darinya.
"Kamu sendiri, kenapa belum menika?" katanya, balik bertanya.
"Ditanya kok malah nanya balik," jawabku ketus.
Sambil menunggu lampu berganti warna hijau, ia kembali menyeruput kopi yang kubawakan. Sedikit bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar.
Tanganya mengetuk-ngetuk pelan setir mobil seirama dengan musik.
"Lalu, apa alasannya?" Aku kembali bertanya dengan nada sedikit manja.
Ia menarik napas panjang, "Aku belum siap. Aku belum siap dengan sebuah komitmen." Ia melirik ke arahku.
" Menikah itu butuh kesiapan segalanya. Bukan hanya sekadar materi. Tapi juga mental. Menikah itu adalah memberi dan menerima diri secara utuh. Menurutku menikah itu hanya sekali. Sulit untuk menemukan orang yang dirasa tepat. Kalau kamu?"
"Entah!" kataku.
"Jangan terlalu khawatir dengan omongan orang. Mereka hanya bisa berkomentar. Toh, yang menjalani hidup itu kan kita." Ia membelai kepalaku.
"Diorama, apa kabar?" Ia melanjutkan pertanyaannya.
"Entah!" kataku lagi.
Ia tertawa. Terdengar seperti meledek.
"Hubungan kalian sudah sejauh apa?"
"Tidak usah bahas itu!" kataku ketus.
"Tumben," katanya lagi.
Di luar, langit semakin kelabu. Sebentar lagu hujan akan turun.
Komentar
Posting Komentar