Menepi Sejenak
Langit terasa sendu seharian ini. Matahari enggan menampakan diri. Ia memilih tidur di balik awan gelap. Aku bersenandung kecil menuruni tangga bersama rekan-rekan kerjaku. Melepas tawa setelah penat di hadapan tumpukan pekerjaan.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh. Aku melihat sosok yang sepertinya tidak asing lagi. Ia berdiri di parkiran mengahadap jalan raya yang tidak terlalu ramai–di seblah mobil berwarna silver dengan kemeja biru langit dan celana hitam. Salah satu tangannya dimasukan ke dalam saku celana, sedangkan tangan lainnya menggantung bebas.
Dalam hati aku menggerutu, kenapa kantor ini hanya punya satu pintu untuk akses keluar masuk. Langkahku semakin mendekati parkiran. Aku masih berpura-pura tidak melihat keberadaannya dengan asyik ngobrol–bergerombol bersama teman-teman. Berharap ia tidak mengetahui keberadaanku.
Setelah aku berhasil melawatinya, beberapa meter dari tempat ia berdiri, ada tangan yang menghentikan langkahku. Ia tersenyum kepada teman-temanku sebagai cara untuk menyapa. Menggandengku ke arah mobilnya, sebelum aku sempat protes akan perbuatannya.
Mobil kami perlahan melaju meninggalkan parkiran. Beberapa saat Kami tidak saling bicara. Sibuk dengan isi kepala kami masing-masing.
"Ke mana saja dua bulan ini?" Nadanya dingin, matanya fokus dengan jalanan.
"Aku bertanya ke beberapa teman dekatmu, tapi mereka tidak tau kamu ke mana. Mereka hanya bilang kamu cuti."
"Apa urusanmu?" Aku menjawab tidak kalah dingin dengannya.
Ia hanya menarik napas panjang—meredakan rasa kesalnya. Langit sudah gelap. Lampu jalanan mulai menghiasi kota.
-Bersambung-
Komentar
Posting Komentar