Sia-Sia (Part 2)

Dalam perjalan, Lintang memutar musik klasik. Denting piano memecah kesunyian di antara kami. Tidak biasanya ia diam dalam perjalanan. 

"Aku ikut, boleh?" Tiba-tiba ia berkata dengan nada ragu. 

Aku menggeleng, "tidak!" kataku, tegas. 

"Aku hanya ingin mencari jawaban. Berbincang dengan diriku. Hanya ada aku dan diriku," kataku, memecah kesunyian yang membuat kami asing. 

"Untuk apa kamu pergi jauh-jauh. Jika, jawabannya itu ada di dekatmu.  Di dalam diri. Ketakutanmu terlalu berlebihan, dan itu hanya ada di kepalamu sendiri." 

Jika sudah menasihati, Lintang seperti kakek-kakek. Cerewet. 

"Setiap manusia pasti punya rasa takut. Yang membedakan hanya, bagaimana ia memproses rasa takut tersebut. Apa rasa takut terbesarmu?" Tatapannya lurus ke jalanan. 

"Semua hal membuatku takut. Aku takut kehilangan, diabaikan, merasa tidak berguna, dan aku takut mati." 

Lintang tertawa keras sambil memukul-mukul setir. Di sela tawanya ia berkata, "Aku kira, kamu hanya takut kehilangan dia. Dia yang membuatmu seperti orang gila." 

"Beberapa bulan terakhir, aku tidak bisa tidur. Setiap malam, tiba-tiba dadaku terasa sesak. Aku kesulitan bernapas. Aku selalu berpikir, jika esok aku bangun berada di dunia yang berbeda, bagaimana. Aku takut tidak bisa bertemu orang tuaku." 

Lintang menolehku sekejap. Lalu kembali fokus mengemudi. Ia membelai kepalaku. 

"Aku juga takut, jika aku tidak berguna. Apa yang telah aku perbuat selama hidup? Aku tidak menghasilkan pengharagaan apapun atau uang yang banyak. Aku tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang-orang sekitarku. Aku hanya hidup untuk diriku sendiri." Tangisku lepas, yang sedari tadi aku tahan. Area mataku hitam karena maskara yang aku gunakan luntur. 

Sambil menahan tawa, Lintang memberi tisu. "Matamu belepotan. Makanya, kalo pake maskara yang anti air."

Komentar