Tuan Penunggu Hujan

Hampir satu minggu aku meninggalkan Jakarta. Menepi dari hiruk pikuk Ibu Kota. Dari kebisingan dan polusi kendaraan jakarta. Untuk sementara, aku tinggal di penginapan—di desa yang tidak terpencil tidak juga kota. Penginapanku dikelilingi pohon-pohon rimbun yang tinggi menjulang. Suara-suara hewan di  malam hari, semakin terasa seperti berada dalam hutan. 

Ukiran khas kerajaan menghiasi gapura pintu masuk penginapan. Loby dibuat seperti pendopo dengan suara gamelan jawa yang khas. Penginapan ini hanya memiliki sepuluh kamar, dibuat berhadapan membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran hanya ada rumput yang tertata rapi. 

Aku jarang ke luar penginapan. Aku lebih menikmati duduk santai di depan kamar. Sama seperti pria yang menginap tepat di depan kamarku. Pria itu sudah ada sejak pertama aku menginap di sini. 

Sampai dengan saat ini, aku belum mengetahui nama pria tersebut, walau kadang kami sama-sama duduk di depan kamar masing-masing. Kami hanya melemparkan senyum, lalu, berpura-pura sibuk dengan kegiatan masing-masing. 

Sesekali aku memperhatikan pria itu. Ia selalu menatap ke atas—ke arah langit biru. Raut wajahnya selalu datar, tidak senang ataupun sedih. 

Suatu hari, ketika langit berwana kelabu, ada ekspresi yang tersirat di wajahnya. Matanya sedikit berbinar, lalu, berubah datar kembali, bahkan sedikit redup. Aku melihat ke langit, warnanya telah berubah dari kelabu perlahan menjadi biru walau tidak terang. 

Kutinggalkan ia sendiri bersama langit yang berubah dengan cepat. Belum sempat badanku berbalik sepenuhnya, hujan turun dengan derasnya. Aku melihat pria itu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi berwarna putih. Sejenak ia melihat ke arahku. Lalu, berdiri di tengah rumput hijau—di bawah derasnya hujan dengan mata tertutup, sambil merentangkan kedua tangan. 

Komentar