Keresahan

Mata yang dulu berbinar kini mulai layu. Tidak lagi secerah dahulu. Matanya mulai menghitam. Pandangannya tidak lepas dari deretan angka yang memenuhi layar monitor.

Terkadang dahinya terlihat mengernyit. Lalu, menggerutu pelan. Menghempaskan badannya ke sandaran kursi.

"Istirahatlah sejenak." Kubawakan ia segelas kopi arabica tanpa gula.

"Terima kasih," katanya, tanpa mengalihkan mata dari layar monitor.

Aku duduk di hadapannya. Mengganggu ia bekerja. Memandangi wajahnya lekat dengan sedikit jarak.

"Jangan terlalu dipaksakan."
Aku berlalu seraya menutup laptop yang sedang ia pandangi.

Hembusan napasnya terlihat geram. Menyeruput kopi arabica tanpa gula yang tidak lagi panas.

Ia menyusul ke halaman belakang. Dengan kopi dan rokok yang masih setengah di tangannya.

"Akhirnya kamu berhenti juga." Aku menyambutnya gembira.

"Beristirahatlah. Jangan terlalu dipaksakan. Sudah lama kita tidak berbincang. Tidakkah kamu merindukanku?" Aku menatapnya lembut.

"Aku rindu detak di dalam sini." Kusandarkan kepalaku di dadanya.

"Detak yang tidak beraturan," ucapku lagi.

Ia mendekapku tanpa bicara. Mencium kepalaku dengan mesra.
Kami diam. Memandangi langit yang terlihat lebih cerah dari hari sebelumnya.

Wajahku berserut ketika ponselnya berbunyi. Ia menjauh untuk menerima panggilan itu.

Aku mengambil sisa rokok yang ia tinggalkan di atas meja. Menghisapnya dengan kekesalan.

Ia mengakhiri panggilannya dengan cepat. Menghampiriku, membuang sisa rokok dari mulutku. Menggantinya dengan bibirnya. Melepas keresahan dalam pagutan.

Komentar