Malam Dalam Kereta
Berlomba dengan waktu adalah hal yang sangat menyenangkan. Seperti saat ini, aku berlari ke peron kereta ekonomi tujuan Yogyakarta.
Klakson telah berbunyi. Pertanda tidak lama lagi kereta akan diberangkatkan.
Untung aku tepat waktu, batinku.
Lintang sudah berada di tempatnya. Ia hanya tersenyum, melihatku terengah-engah menuju ke arahnya. Ia memberikan sebotol air mineral, membantuku menaruh tas di kabin kereta.
Aku duduk di sebelahnya, dekat jendela. Bangku paling ujung dekat pintu sambungan gerbong. Sepasang kakek nenek duduk di hadapan kami. Kira-kira umurnya lebih dari enam puluh tahun. Aku tersenyum kepada mereka sebagai sapa.
Di luar sudah gelap. Hanya sinar dari lampu jalan dan rumah penduduk yang menghiasi perjalanan kami.
Aku memperhatikan kedua orang tua yang duduk di hadapanku. Mereka berbincang dengan mesra, seperti orang yang sedang jatuh cinta. Matanya berbinar, wajahnya berseri dan senyum selalu mengembang dari bibir mereka.
Aku lupa akan Lintang yang duduk di sebelahku. Mungkin, karena aku terpukau dengan orang tua tersebut.
"Tidak sopan melihat orang seperti itu." Ia menepuk bahuku, mengembalikan ke dalam kesadaranku.
Hari semakin larut, hawa dalam kereta semakin dingin. Badanku lelah, tetapi enggan terpejam. Kusandarkan kepala di bahu Lintang. Mataku tetap terpaku pada mereka.
Mereka menoleh ke arah kami, lalu, tersenyum bersamaan. Mungkin mereka sadar, ada dua pasang mata yang sedang memperhatikan.
"Wajah kalian mirip. Pantas saja kalau berjodoh," kata sang nenek tiba-tiba.
Aku dan Lintang tertawa dan saling pandang. Mendengar ucapan nenek itu.
"Kami bukan ..." Ucapanku menggantung, tidak sampai selesai.
"Jika kamu sudah yakin, disegerakan saja. Jangan sampai menyesal," kata Kakek kepada Lintang.
Lintang tersenyum menanggapi kata-kata Kakek.
"Penyesalan selalu datang terlambat. Jangan sampai kalian seperti kami." Kakek melanjutkan nasihatnya.
"Mas, sudah, jangan bicara terus. Kita harus istirahat. Perjalanan masih panjang."
Aku melihat nenek yang mulai tertidur. Bersandar di tubuh kakek.
Aku melirik Lintang. Melakukan hal yang sama seperti nenek di hadapanku.
Komentar
Posting Komentar