Menertawakan Kesedihan

Beda seperti biasanya, kali ini, aku menikmati kemacetan ibu kota dengan bahagia. Bahkan, aku ingin kemacetan ini tidak cepat terurai.

Bukan karena aku habis naik pangkat, apalagi  menang undian. Tetapi, karena ia yang duduk di sebelahku terlihat bahagia. Tawanya begitu lepas, saat aku menyuguhkan lelucon absurd.

Aku mendengar dering ponselnya berbunyi sedari tadi. Ia hanya melihat sejenak. Memilih mendengar lelucon konyolku.

"Angkat saja dulu teleponnya, mungkin itu penting."

Ia menggeleng. Wajahnya sedikit tegang.
Lampu lalu lintas masih berwarna merah. Aku kembali membuat lelucon, tetapi, tawanya seperti dibuat-buat.

Ponselnya kembali berbunyi. Wajahnya dipalingkan ke arah kaca yang ada di sebelah kiri. Menyambungkan earphone pada ponsel ke telinganya.

Aku melaju perlahan. Lampu sudah berganti menjadi hijau. Di sela suara musik yang kusetel dan bising kendaraan di luar, aku mencoba menyimak percakapannya.

"Jangan ganggu hidup saya lagi." Aku menatap ke arahnya. Ia membentak orang yang sedang diajak bicara itu.

"Saya tidak mau menikah sama kamu. Saya tidak mau menjadi gila seperti kamu." Suaranya sangat pelan. Konsentrasiku terpecah. Antara menyetir dan menyimak pembicaraannya.

"Kamu masih bertanya, kenapa saya pergi dari kamu? Setelah kamu melakukan kekerasan fisik terhadap saya. Bukan cuma fisik yang kamu lakukan, tapi secara psikis, dengan kekerasan secara verbal." Kata-katanya terbata. Ia menahan marah, juga tangisnya.

Aku bersenandung pelan. Berpura-pura tidak mendengarkan percakapannya.
Wajahnya masih dipalingkannya. Tangannya menghapus air mata yang tidak bisa ia tahan.

Ia bergumam kecil," Tidak boleh nangis, tidak boleh nangis, tidak boleh nangis."

"Nangis tidak dilarang, nangis diperbolehkan dalam mobil ini," kataku, membalas gumamannya.

Ia tertawa. Menoleh ke arahku. Tawa yang dibuat-buat. Tawa yang semakin lama berubah menjadi tangisan.

Aku membelai kepalanya. Melihat wajah sendunya. Lalu, aku mentertawakannya sekeras mungkin. Mengacak-acak mesra rambut lurusnya. Membuat tawanya kembali pecah.

Kami melaju cepat. Mebelah malam dengan mentertawakan kesedihan yang baru saja terjadi.





Komentar