Manusia Pilihan

Tidurnya terlihat gelisah. Sedari tadi tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan. Napasnya cepat seperti orang berlari. Keringat membasahi pakaiannya. Sedangkan pendingin ruangan menunjukan temperatur 16°C.

Aku menyalakan lampu kamar. Membangunkannya selembut mungkin, agar ia tidak kaget. Kuberikan segelas air putih ketika ia membuka mata.

"Terima kasih," ucapnya.

Aku mengambil gelas dari tangannya, dan menaruhnya di atas meja kecil dekat tempat tidur. Raut wajahnya terlihat lelah. Tetapi pancaran matanya ketakutan.

"Mimpi buruk lagi?"

Ia mengangguk. Kepalanya bersandar di pundak, dan tubuhnya mendekap sebelah tanganku. Kami berdua diam. Kubiarkan ia  sibuk dengan pikirannya.

"Mereka mulai menggangguku lagi," katanya, memecah kesunyian.

"Aku takut," ucapnya lagi.
Ia melepas dekapannya. Merebahkan kepalanya di pangkuanku.

"Aku merasa seperti tawanan. Mereka mengawasiku. Mata mereka ada di mana-mana. Suara-suara mereka mengganggu tidurku. Terlalu berisik di telingaku." Ada nada kesal dalam bicaranya. 

"Mungkin mereka hanya ingin menyampaikan sesuatu." Aku berkata selembut mungkin, agar ia tidak merasa tersinggung.

"Aku takut. Aku tidak ingin berkomunikasi dengan mereka. Mereka terlalu menyeramkan buatku." Matanya terpejam rapat, ketakutan kembali tersirat di wajahnya.

"Aku hanya ingin menjadi normal, seperti kamu dan yang lainnya." Bulir bening menetes dari ujung matanya.

"Kamu orang yang spesial, sayang. Menjadi orang yang terpilih." Kuhapus air di ujung matanya. Membiarkan ia menghadapi rasa takut dengan caranya sendiri.

Komentar