Pulang
Aku berdiri, mematung di depan pintu. Ada ragu yang menjalar, menghentikanku untuk mengetuk.
Rumah dengan kondisi yang masih sama, seperti lima tahun lalu sebelum aku meninggalkannya.
Rumah dengan cat berwarna putih dan cokelat pada daun pintunya.
Aku meraba – menhirup aroma kenangan yang pernah diciptakan. Tanganku terhenti pada dinding yang rompal. Desir aneh menjalar pelan. Ada bercak berwarna cokelat di bagian itu.
Pintu terbuka pelan. Dua orang paruh baya berwajah sendu keluar perlahan.
"Sudah, Bu, jangan bersedih lagi. Ia sudah tenang di sana. Sudah lima tahun ia meninggalkan kita."
Kata-kata ayah membawa ingatanku menerawang jauh. Dadaku sesak. Tubuhku serasa disengat listrik ribuan watt. Aku tersungkur, kakiku tidak lagi kuat menopang tubuh.
Peristiwa itu kembali muncul. Saat hujan deras. Teriakan ayah menggelegar, melebihi suara petir yang sedang bersahutan. Ia memergokiku sedang becumbu dengan seorang pria.
Aku diusirnya, ia tidak menginginkan anak yang membuat aib keluarga. Aku diseret, didorong ke luar rumah. Kepalaku terbentur, darah mengalir dengan lambat.
Ibu histeris, melihatku pergi dengan kepala berdarah. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Tidak ada pelukan bahkan kata-kata perpisahan.
Tiba-tiba semua menjadi gelap. Yang terdengar hanya tangisan ibu. Lalu, sunyi dalam sekejap.
***
"Bu, aku pulang."
Ibu diam saja. Seperti tidak menyadari kehadiranku.
"Pak, aku pulang," kataku terbata.
Ayah menggenggam tangan ibu, untuk menguatkannya.
"Ibu harus ikhlas, biar anak kita bisa pulang dengan tenang."
Komentar
Posting Komentar