Mau Sampai Kapan?
Wanita itu terlihat gelisah di bawah remang lampu taman. Beberapa kali menyandarkan badannya pada sandaran kursi. Matanya nanar melihat orang yang lalu lalang.
Seorang pria berbadan tegap dan sedikit buncit menghampirinya. Wajah wanita itu berubah tegang. Ada kemarahan yang tidak tersampaikan.
Aku mendengar percakapan mereka. Jarak kami tidak terlalu jauh. Mereka abai akan keberadaanku. Terlihat sibuk dengan buku yang menutupi wajahku.
Suara wanita mulai meninggi. Lalu, berubah menjadi isak. Pria berbadan tegap dan sedikit buncit, terlihat pasrah, juga serakah. Seringainya ia sembunyikan di balik lembut suaranya.
Aku menghapiri wanita yang ditingalkan Pria itu sendirian.
"Ia tidak mau memilih. Ia tetap menginginkan aku dan dia."
Ia memelukku. Tangisnya semakin deras.
"Mau sampai kapan seperti ini?" Aku bertanya kepada wanita itu. Ia adalah sahabatku.
"Kamu berhak bahagia. Nikmatilah hidup yang hanya sesaat ini," kataku ringan.
Aku tidak paham jalan pikirannya. Ia rela menunggu. Berharap pria itu berubah. Lalu, bahagia. Setelah apa yang selama ini pria itu lakukan di belakangnya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali.
Wanita bodoh, pikirku. Ia sangat sabar menanti masa itu tiba. Masa yang menurutku adalah mustahil. Padahal, ia bisa menyudahi semuanya dengan segera.
Atau, mungkin ia takut. Takut menghilangkan sosok bapak bagi anaknya. Atau ia takut akan status yang kelak ia sandang.
Komentar
Posting Komentar