Lap dan Lem
Mobil kami berhenti di perempatan lampu merah. Rintik hujan mulai turun perlahan. Senja terdiam, ketika ia melihat seorang pria yang menjajakan lap kanebo dan lem.
Pria itu memegang sepuluh tumpuk kanebo berbagai warna. Di bahunya terselempang satu plastik lem kuat. Dadanya ditempel karton yang bertuliskan harga kanebo dan lem.
Aku melirik Senja, dengan ujung mataku. Tatapannya mengikuti gerak pria penjaja kanebo. Tiba-tiba ia membuka jendela dan melambaikan tangan memanggil pria tersebut.
"Pak ... Pak .... "
Matanya menangkap isyarat dari Senja. Dengan sedikit berlari ia menuju ke arah kami.
"Saya beli lima kanebonya, Pak."
Pria itu memandangi bibir Senja dengan seksama. Tak lama kemudian ia membungkus pesanan Senja dengan sigap. Matanya berbinar, senyumnya merekah. Berkali-kali ucapan terima kasih keluar dari mulutnya tanpa suara.
Senja membayar kanebo yang dibelinya. Lampu sudah berubah menjadi hijau. Kami kembali melanjutkan perjalanan.
Pria itu menepi. Aku sempat melihatnya sesaat. Bibirnya mengucapkan terima kasih. Terlihat beberapa lembar uang ratusan, yang di pegang di depan dadanya.
Senja tersenyum, mengangguk hormat kepada pria itu. Aku mengusap kepalanya lembut.
"Terima kasih," kataku.
"Aku kagum dengannya. Sepanjang hari, pria itu menjajakan lap dan lem di perempatan lampu merah. Ia tidak bisa bicara. Wajahnya selalu terlihat ceria. Senyumnya selalu mengembang saat menawarkan lap dan lemnya." Ada nada iba pada suara Senja.
'Aku bangga padamu, Senja." Kembali kubelai kepalanya dengan lembut.
Komentar
Posting Komentar