Tergesa
Aku melihatnya bersandar pada tiang bangunan stasiun. Wajahnya terlihat pucat. Tatapannya kosong. Tubuhnya berkeringat deras.
Sangat kontras dengan keadaan sekitarnya yang penuh sesak. Kendaraan bermotor hilir mudik, saling berebut pada jalan yang tidak terlalu lebar. Suara lantang para penjaja roti dan kartu perdana memekakan telinga, supaya mendapat perhatian dari orang-orang sekitar stasiun.
Ia tidak melihatku yang sedari tadi memperhatikannya. Bahkan ketika aku tergesa-gesa menyusulnya.
Ikut berdesakan dalam kereta yang sama. Berebut masuk agar bisa terangkut.
***
Ia membuka matanya perlahan. Mengerjap, sebelum bertatapan denganku.
"Kamu tidak apa-apa?"
Ia menggangguk, memberi jawaban.
"Kenapa kamu di sini?" tanyanya dengan muka meringis seperti menahan sakit.
"Aku sengaja mengikutimu sejak dari kantor. Wajahmu murung penuh dengan kerut. Meninggalkan meja kerja begitu saja. Bergegas pergi tanpa berpamitan denganku."
"Aku merasa sangat lelah. Aku hanya ingin pulang. Mungkin aku hanya membutuhkan tidur tanpa memikirkan apapun."
Ia meremas tanganku kencang. Menepuk-nepuk dada kirinya. Napasnya menjadi sesak.
"Rasanya sakit sekali."
Kalimat terakhirnya sebelum ia tidak sadarkan diri sampai hari ini. Tepat satu minggu sejak peristiwa itu.
Kini ia tergolek lemah dalam ruang intensive. Tubuhnya dipenuhi dengan alat penyangga hidup.
Tak pernah terbayangkan ia akan seperti ini. Ia tidak pernah bercerita tentang penyakitnya. Ia selalu ceria, walau kadang sesekali napasnya terlihat sesak.
Komentar
Posting Komentar