Menanam Mata Air (2)

Setiap malam wanita itu memetik air mata dan mengumpulkannya di wadah berwarna cokelat yang ia buat sendiri dengan tangannya. Setiap bulan purnama tiba, ia akan membawa wadah yang hampir penuh itu ke tanah kering. Menanamnya sambil melantunkan doa, meminta restu pada semesta.

"Mengalirlah, Nak," kata wanita itu sambil menepuk-nepuk gundukan tanah di dekatnya. 

Wanita itu meninggalkan anaknya dan kembali ke rumah dengan perasaan bahagia dan penuh harap. Keesokan harinya sebelum matahari benar-benar terbit, ia akan kembali menengok—memastikan sang anak akan tumbuh dan cukup untuk memberikan kehidupan baru.

Ia terus melakukan itu dan melahirkan anak-anak baru selama hidupnya. Anak-anaknya tidak pernah kering dan memberikan kehidupan bagi sekitarnya. Sampai pada suatu ketika, seseorang datang menghancurkan semuanya.

Ia ingat. Pada suatu pagi serombongan orang datang berkunjung. Warga berkumpul di balai desa. Mereka diiming-imingi keuntungan besar dan mimpi-mimpi manis yang tidak pernah di dengar warga desa. Pada akhirnya mereka menjual dengan suka rela.

Sejak saat itu, anak-anak wanita itu mati satu per satu. Ia hanya bisa meratapi dan merutuki orang-orang yang mebunuh anak-anaknya. Orang-orang yang mengubah sawah menjadi perumahan, dan hutan menjadi perkebunan.

Wanita itu tidak lagi pernah memetik air mata dan menanamnya tiap bulan purnama tiba. Ia mati bersama rasa sakit yang teramat dalam.

Komentar