Menanam Mata Air
Pada zaman dahulu desa ini sangat makmur. Warga bahagia dan sejahtera. Senyum tidak pernah pudar dari wajah mereka. Sawah selalu menguning, hutan tetap hijau, langit berwarna biru cerah, dan aliran air terdengar seperti senandung.
Tapi semua itu berubah beberapa puluh tahun terkahir. Desa ini seperti desa kutukan. Tanahnya tetap kering walau hujan menerpa semalaman. Cuaca juga tidak bisa diprediksi. Hujan bisa turun kapan saja meskipun langit sedang panas-panasnya.
Menurut cerita yang beredar desa ini terkena kutukan seorang wanita paruh baya. Wanita itu marah karena anak-anaknya mati—dibunuh dengan sengaja. Hingga saat ini masih terdengar rintih kesedihan wanita paruh baya itu atau tawa anak kecil di kala hujan turun.
***
Aku gegas berjalan menghindari rintik yang tiba-tiba turun. Melangkahkan kaki di atas tanah retak yang siap memakan siapa saja di atasnya. Dalam perjalanan, aku melihat gadis kecil diam mematung, dengan payung di tangan kanannya dan botol di tangan kirinya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, wanita paruh baya berjongkok sambil menggali tanah dengan kayu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku pada gadis kecil itu.
"Membantu ibu," jawabnya, tanpa menoleh sedikit pun.
"Ibu?" ucapku sambil melirik wanita paruh baya itu.
Hujan semakin deras. Tiba-tiba gadis kecil itu melompat-lompat sambil tertawa.
"Aku ingin membantu ibuku." Ia menunjuk wanita yang sedang jongkok menggali tanah.
"Semua kakakku mati. Kata ibuku mereka dibunuh." Gadis kecil itu menjadi murung. Matanya kosong menerawang.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar