Penyeduh Kopi (5)

Seorang wanita berkaus biru memesan menu  istimewa. Ia duduk di sudut ruangan—dekat jendela. Rambutnya diikat sekenanya. Wajahnya sama seperti langit pagi ini. Kelabu.

Sesekali aku melihat ke arahnya sambil berbincang dengan tiga pemuda di hadapanku. Wajah wanita itu seperti tidak asing buatku. Aku coba mengingatnya. Mungkin ia teman lamaku atau aku pernah bertemu dengannya.

Aku ingat sekarang. Ia wanita yang kemarin sore tiba-tiba pingsan di taman ketika seorang anak kecil memeluknya. Aku hanya melihat sepintas karena orang-orang langsung membawanya ke klinik terdekat.

Aku kembali melihat langit dan wajahnya bergantian. Lalu terlintas kopi arabica tanpa gula di kepalaku. Bubuk kopi disiram air mendidih. Air yang dimasak langsung di atas kompor. Tidak menggunakan mesin pembuat kopi.

Ada kepahitan yang tidak ingin ia cecap lagi. Sekuat tenaga ia menolak rasa yang kembali muncul. Ia berlari terus dan terus untuk menghindarinya. Kasihan, batinku.

Pesanannya sudah siap. Kuminta Angga untuk mengantarkan ke mejanya. Mukanya memerah, awan hitam memenuhi dirinya setelah ia menyesap kopi istimewa itu. Ia meninggalkan meja dengan badai yang siap menghantam.

Emosinya tumpah di meja kasir. Aku menghampirinya, dan meminta Angga yang tidak mengerti apa-apa untuk pindah ke tempatku. Aku mencoba tetap tenang menghadapi wanita itu.

Ia memprotes sajian menu istimewa dan mempertanyakan keistimewaan minuman itu. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya, karena hanya dia yang tahu keistimewaan minuman itu. 

Minuman yang membawa ia kembali pada ingatan-ingatan yang ingin ditinggalkan.

Komentar