Undian (2)
Ia mendarat dengan selamat di kota yang mengundangnya. Mimpi yang ditakutkan selama ini tidak terjadi. Ia menghampiri seseorang yang membawa kertas di atas kepala berisikan namanya. Hanya dia satu-satunya orang di tempat itu. Pria itu menyapa dengan santun dan mengajaknya menuju mobil yang terparkir tidak jauh.
“Mau saya bawakan tasnya, Pak?”
“Tidak usah. Terima kasih.” Ia menolak bantuan dari pria itu. Ia hanya membawa tas berisikan kain sarung lusuh satu-satunya.
Selama perjalanan matanya menyapu tiap tempat dan benda yang dilewatinya. Ia merasa aneh, karena keadaan kota terasa sepi, padahal cuaca di luar cerah. Bahkan kendaraan pun hanya beberapa yang melintas. Ia mengusir keanehan dalam kepalanya, mungkin kota ini penduduknya sedikit, pikirnya. Setalah hampir dua jam berkendara ia sampai di satu bangunan tinggi.
Ia disambut beberapa pria berbadan tegap, memakai kacamata hitam dan alat kecil yang menyumpal telinga mereka.
Ia diantar ke sebuah ruangan besar, lebih besar dari rumahnya di kampung kering dan gersang itu. Ada satu tempat tidur dengan seprai putih, televisi, lemari pendingin, lemari baju, kaca yang semuanya berukuran besar. Kamar berwarna putih dan kuning gading sangat serasi dengan lantai kayunya. Ia menuju kamar mandi, matanya terbelalak melihat bak mandi yang sanagat besar, yang biasanya dipakai orang untuk berendam.
Ia sering melihatnya di TV saat makan di warung. Ia masuk ke dalam bak, berbaring di dalamnya sambil menggoyangkan tangan seolah ada air di dalamnya.
Pintu diketuk beberapa kali. Salah seorang pria berbaju hitam masuk membawakan satu set jas, beberapa kemeja, celana, dan baju santai, juga sepatu yang sangat berkilau.
“Nanti bapak diundang makan malam. Hadiah akan diberikan langsung oleh penyelenggara. Tapi, tolong diingat pak, saat makan diwajibkan menggunanakan tangan kanan.”
Belum sempat ia mengutarakan kata-katanya, pria berbaju hitam sudah pergi meninggalkan ruangan. Ia termenung dengan gelisah dekat jendela melihat langit sore yang tidak berwarna merah kehitaman. Berbeda dengan kampung halamannya, walau kering dan gersang tapi mempunyai langit sore yang sangat indah. Matanya menerawang jauh.
Di kota ini gedung-gedung berlomba mencapai awan. Matanya menangkap pemandagan seru, di tanah kosong yang pembangunannya terbengkalai ia melihat beberapa anak kecil bermain bola. Tidak jauh dari tempat anak-anak bermain ada pemukiman kumuh yang juga pernah ia lihat di televisi. Ia teringat masa kecilnya ketika masih bermain capung atau berkubang setelah hujan reda. Kini di kamupung halamannya itu tidak lagi ada capung setelah ditemukannya mineral.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar