Undian (1)

Satu minggu terakhir kampung yang kering dan gersang itu terlihat lebih hidup. Beberapa orang berkerumun dan berbisik. Sedangkan dalam kamar sempit dan remang ada seseorang yang gamang. Ia gelisah. Perasaan takut dan kebutuhan berlomba menjadi yang paling unggul. 

Bolak-balik ia mengambil tiket dan meletakannya kembali ke lantai. Sejenak tubuhnya kaku tidak bergerak. Bulir-bulir air berebut keluar dari pori kulitnya. Sebelum rubuh ia merunduk memegangi kedua lutut sambil berteriak kencang. Ia kembali merasakan sensasi mimpinya—terjatuh dari pesawat.

Dengan tubuh yang bercucuran peluh ia berjalan gontai menuju pintu. Sebuah ketukan membawanya kembali pada kesadaran penuh. Matanya terbelalak ketika melihat banyak warga kampung berkumpul di depan rumah. Belum kelar dengan kebingungan yang pertama, sudah muncul kebingungan selanjutnya. Calon Kepala kampung maju memberikan pidato dan sambutan menyerupai kampanye terselubung. Warga menyambutnya dengan antusias sedangkan ia berdiri dengan wajah penuh senderut, berharap segera selesai. 

Tidak lama setelah sambutan calon kepala kampung berakhir, kerumunan membubarkan diri sambil bersalaman dan memberikan ucapan selamat jalan.
Ia tidak menyangka undian yang dimenangkannya akan menggemparkan warga kampung. Padahal undian itu ia dapat di warung makan langganannya secara kebetulan. Kala itu cuaca sangat terik dan berdebu, tidak banyak orang makan di tempat itu. Sambil menunggu makanan yang dipesan, matanya tertuju pada kertas berwarna kuning di sudut meja. Ia mengambil kertas yang ternyata selebaran undian dengan hadiah fantastis. Tanpa pikir panjang ia mengisi formulir di balik selebaran itu dan mengirimkan ke alamat yang tertera.

Sebagai buruh serabutan di kampung yang kering dan gersang itu, ia menaruh harapan besar pada undian yang diikuti. Saban malam ia berdoa agar memenangkan undian. Sampai pada sebuah tiket pesawat tiba di rumah untuk membawanya ke kota mengambil hadiah yang dijanjikan selebaran undian.

Bersambung...

Komentar