Terhubung Kembali
Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku bernapas lega melihat nama yang tertera di layar. Bukan orang kemarin malam, namun Diorama yang meneleponku. Aku mengernyitkan dahi, tumben sekali ia menghubungi di tengah malam begini.
"Halo, kau baik-baik saja, kan?" katanya, di seberang sana.
Aku terkejut. Ia seperti mengetahui apa yang sedang aku risaukan. Aku tidak sedang baik-baik saja.
"Senja, kau baik-baik saja, kan?" katanya lagi.
"Iya, aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu di khawatirkan."
"Perasaanku tidak enak. Aku akan ke sana sekarang."
"Mau apa kau ke sini? Sudah hampir tengah malam." Aku berkata dengan nada sedikit tinggi.
Panggilan terputus. Aku hanya bisa menari napas panjang. Diorama bukan orang yang bisa dilarang. Intuisinya kuat. Ia melakukan sesuai kata hatinya.
Ia kembali menelepon setelah selang dua puluh menit.
"Aku sudah di depan rumah."
"Tunggu saja di situ. Aku yang akan ke sana." kataku cepat sebelum ia mengetuk pintu rumah.
Aku menghampirinya dengan baju tidur. Ia membuka kaca mobil dan menyuruhku masuk.
"Kau seperti kurang kerjaan. Bagaimana kalau ada orang yang melihat. Apa kata orang nanti. Apa Seruni tau kau ada di sini?" Aku merepet seperti petasan cabe.
Ia menyalakan mobil, berjalan meninggalkan rumahku.
"Mau kau bawa ke mana aku?" kataku lagi.
"Sudah merepetnya? Telingaku sakit mendengarmu berbicara seperti itu." katanya dengan nada meledek.
"Perasaanku tidak enak. Seperti ada yang tidak beres. Selama di kantor, aku melihat wajahmu penuh dengan senderut. Kau terlihat lebih sering bengong. Tatapanmu kosong. Kau hanya memandangi layar monitor dengan pikiran ke mana-mana."
"Dari mana kau tau. Berpapasan saja kita tidak," kataku.
"Aku mengawasimu. Mataku ada di mana-mana." Ia berbisik di telingaku. Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Ceritalah. Aku ada di sini." Ia menggenggam tanganku.
Aku menatap matanya. Ia mengangguk meyakinkanku.
"Dua hari yang lalu, seseorang meneleponku. Ia memebritahu tentang ayahku."
Ia ngerem mendadak mungkin karena terkejut. Aku tidak pernah cerita tentang ayahku padanya. Aku memejamkan mata, menyandarkan kepala pada kursi.
"Lanjutkan," katanya, sambil kembali menggenggam tanganku.
"Hubungan kami tidak bagus, bahkan sangat buruk. Belasan tahun kami tidak pernah bertemu. Sampai kemarin malam orang itu membertahu keadaan ayahku. Ia memintaku datang ke rumahnya. Aku tidak tahu harus gimana." Setelah itu aku menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit yang dahulu aku buang, kini kembali muncul bahkan rasanya lebih menyakitkan. Dadaku seperti ditusuk ribuan jarum-jarum kecil.
Diorama membiarkanku sampai tangisanku mereda. Ia tetap menjalankan mobilnya sambil mengelus kepalaku.
"Jika aku boleh kasih saran, kau harus datang ke sana. Seperti apapun masa lalu kalian. Aku tau, ini tidak mudah buat kalian berdua. Berlembut hatilah sedikit. Mungkin dengan pertemuan ini, bisa memperbaiki hubungan kalian dan kedepannya akan ada perbaikan kedepannya."
Tangisku sudah reda tapi air mataku masih belum berheti.
"Lusa kita ke sana, ya. Aku temani. Aku akan cuti. Tidak akan ada yang tahu kalau kita pergi bersama."
Aku diam tidak menanggapi kata-katanya.
"Aku mau pulang sekarang," kataku masih dengan sisa isakan.
"Tidak. Kita akan tetap berjalan sampai kau merasa tenang."
Tangisku kembali pecah. Aku memukul-mukul dadaku. Bukan karena ia tidak mengantarku pulang. Tapi, rasa sakit ini tidak juga mereda.
Komentar
Posting Komentar