Carosel (Bag 2)
Tepat pukul tiga sore, Lintang dan ibu pergi meninggalkan kontrakan tiga petak. Lintang kecil memakai baju putih bergambar poweranger dengan celana jins pendek dan sepatu hitam yang biasa dipakai untuk sekolah.
Tangan kiri ibu menggandeng Lintang sedangkan tangan kanannya menjinjing tas berisi baju. Mereka berjalan menuju jalan besar untuk naik angkutan umum.
Mereka menaiki bus kuning jurusan kota selama dua jam. Sepanjang perjalanan, ibu tidak banyak bicara, tetapi Lintang kecil terus bersenandung, ia tidak sabar sampai ke tujuan.
Setengah perjalanan Lintang tertidur. Paha ibu menjadi bantal tidurnya. Air mata ibu jatuh, melihat anak laki-lakinya.
"Maafkan, ibu, nak," isak ibu ditengah deru mesin.
"Pasar malam. Pasar malam. Pasar malam," teriak kenek bus dengan lantang. Ibu membangunkan Lintang untuk bersiap turun.
Pasar malam sudah di depan mata. Hati Lintang membuncah sedangkan hati ibu teriris sakit. Wajah ibu pucat., tapi keputusannya sudah bulat.
Lintang menarik tangan ibu menuju carosel.
"Aku mau naik yang kuda." Lintang menunjuk carosel berbentuk kuda berwarna hitam.
Ibu membeli karcis seharga lima ribu rupiah dengan uang terakhirnya. Dengan senyum yang dibuat segembira mungkin, ibu menyuruh Lintang masuk dan menaiki carosel. Petugas berotot berbaju hitam tanpa lengan, mulai mendorong permainan itu.
Lintang mulai berputar. Satu putaran, ia melaimbaikan tangan pada ibu yang berdiri dekat dengan pintu masuk. Putaran kedua, Lintang berteriak, "Ibu, lihat! Aku naik kuda."
Putaran ketiga ia kembali dadah-dadah pada ibu.
Pada putaran ke delapan, Lintang tidak melihat keberadaan ibu di dekat pintu masuk. Ia menatap punggung ibu yang menjauh dari pasar malam.
Ia mengira, ibu akan membeli minum. Lintang menggenggam erat tiang gantungan kuda yang dinaiki masih dengan hati riang.
Lintang mendengar orang-orang meneriaki ibu. "Jangan ke situ! Jangan! Awas!"
Ibu tidak mendengar suara orang yang berteriak juga klakson kereta api yang kencang dan panjang.
Semua berjalan begitu cepat di mata Lintang kecil. Baru saja ia melihat ibunya berjalan menjauhi pasar malam, lalu sekejap kemudian ibu hilang bersamaan dengan kereta diesel yang lewat.
Lintang kecil tetap berada di atas kuda menghabiskan sisa putaran carosel.
"Kamu anak pembawa sial. Kamu berjari sembilan. Kamu anak Sial. Bapakmu mati waktu kamu lahir. Sekarang ibumu juga mati. Dasar anak pembawa sial" Kata-kata itu muncul berulang-ulang di kepala Lintang kecil, walau tidak semua ia pahami.
****
Lampu-lampu di pasar malam mulai dinyalakan. Musik semakin meriah. Semua wahana sudah mulai beroperasi. Lintang kecil jongkok sendirian di pintu masuk pasar malam. Kedua tangannya menyatu di atas lutut menopang kepalanya.
Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun mengendap-endap mendekati Lintang dan membuka tas yang ada di sebelahnya. Belum sempat ia menarik tangannya ke luar, Lintang menoleh—mata mereka bertemu.
Anak kecil itu berlari sambil tertawa dengan kertas di tangannya. Lintang menarik tas agar lebih dekat dengannya, dan kembali menelungkupkan kepalanya.
Komentar
Posting Komentar