Kue Cucur (Bag 2)

Lintang mempersilakan Suar masuk ke dalam kedai. 
"Maaf." Suar berkata lirih. 

"Tunggu sebentar, ya, saya buatkkan dulu pesanannya." Seolah tidak mendengar kata-kata Suar, Lintang bergegas ke dapur yang sudah dibersihkannya tadi.

Sejenak Suar berdiri di tengah kedai. Matanya tertuju pada gambar titik koma besar berwarna hitam menggantung di dinding dekat mesin kopi. Ia duduk di kursi terdekat menghadap gambar besar itu.

Suar melepas karet gelang di lengan kirinya. Ia meringis—perih—lecet dan berdarah. Pelan-pelan ia meniup pergelangan tangannya berharap bisa sedikit mengurangi rasa perih itu 

"Silakan dinikmati." Kata-kata yang selalu diucapkan Lintang ketika menyajikan makanan.

Suar terkejut. Dengan kikuk ia mengangguk. Tangan kirinya ia sembunyikan di balik meja. Lima kue cucur hangat dan segelas teh panas tanpa gula tersedia di hadapannya. Suar menyeruput teh panas dengan kedua lengannya bertumpu pada meja kayu. 

Lintang menjauh. Ia duduk di balik mesin kopi. Memperhatikan gerak-gerik perempuan di dalam kedai tanpa ketahuan. Ia melihat perempuan itu belum menyentuh kue yang baru saja disajikan. Suar hanya memandang dengan tatapan nanar. Matanya berkaca-kaca. 

Suar kembali meniup pergelangan tangannya dan menggoyangkan dengan cepat. Dari balik mesin kopi, Lintang mengernyitkan dahi. Ia yakin perempuan di depannya sedang kesakitan. Pelan-pelan lintang ke atas mengambil sesuatu. 

"Pakai saja jika butuh." Lintang meletakkan kotak P3K di atas meja, lalu kembali ke tempat persembunyiannya.

Suar kaget. Matanya melotot di balik kaca mata bulat. Perasaannya jadi tidak enak, rasanya seperti kepergok mencuri. Tangannya merogoh tas dan mengeluarkan lembaran uang berwarna merah—menaruh di bawah piring berisi kue cucur dan bergegas pergi tanpa satu katapun. 

Dari balik persembunyiannya, Lintang melihat dan membiarkan Suar pergi tanpa bertanya atau menahannya.

Komentar