Stasiun

Kubiarkan kereta-kereta itu lewat begitu saja. Rasanya terlalu lelah untuk berdesakan di dalamnya. Kupejamkan mata dan bersandar pada pagar peron sambil menikmati musik yang mengalun di telinga melalui earphone.
Kurasakan angin berembus lembut menyelimuti tubuh.

Ingatanku kembali pada malam itu. Saat kami sedang berjalan-jalan di pantai. Aku, ayah, dan ibu. Menikmati deburan ombak, embusan angin laut, dan suara-suara musik dari restoran-restoran itu. Tiba-tiba, ayah mengajakku berdansa. Ia menggendongku dan merentangkan satu tanganku. Kami bergerak pelan ke depan, ke samping, ke belakang dan berputar. Aku tersenyum bahagia dan melihat ibu yang juga tersenyum tidak jauh dari tempat kami. Kupejamkan mata dan menyandarkan kepala di bahunya. 

Tiba-tiba tubuhku terhempas, seperti ada yang menariknya dengan kuat. Belum sempat mataku terbuka dengan sempurna, tubuhku sudah menabrak pagar peron. Semua berserakan. Tas, botol minum dan buku bacaan yang sejak awal hanya kupegang saja.

"Kalo mau bunuh diri jangan di sini, Mbak!" ucapnya dengan nada sangat kesal. 

Aku yang masih terkejut dan gemetar akan kejadian tadi, dibawa petugas keamanan ke ruang kesehatan. Mereka memberi minum dan menyuruhku berbaring, lalu meninggalkanku sendirian. 

Pintu diketuk pelan. Seseorang masuk membawakan barang-barang yang berjatuhan tadi dan meletakkannya di meja dekat tempat tidur. Belum sempat aku membuka mulut, ia sudah menghilang di balik pintu. Padahal, aku ingin memakinya. Ia pria yang tadi bicara denganku di peron dengan nada ketus.

Komentar