Kue Cucur (Bag. 1)

Langit malam ini kelabu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Bahkan, bulan pun enggan menampakan diri, lebih nyaman berlindung di balik awan. 

Pengunjung terakhir baru saja meninggalkan kedai dekat stasiun, padahal jarum jam berada di angka 10.25, kereta terakhir akan lewat satu jam lagi, tapi sudah tidak terlihat lagi orang yang lalu-lalang. Hanya ada satu dua orang terlihat berada di peron stasiun, itu pun petugas keamanan. 

Diorama merapikan meja dan bangku. Sedangkan Lintang membersihakan area dapur dan alat-alat membuat kopi. Setelah selesai Diorama duduk di area luar kedai dengan lampu temaram. Suara jangkrik dan kodok memeriahkan malam yang sunyi itu. Suara-suara langka yang hanya bisa didengar setelah hari hujan.

"Nih, makan. Kayaknya tu cewek nggak dateng." Lintang menaruh sepiring kue cucur di atas meja beton abu-abu berbentuk kotak. 

Diorama berdiri menuju mesin kopi. 
"Jangan dipake lagi, udah gua bersihin," teriak Lintang dengan lantang.

Diorama ke dapur memasak air panas dan mmbuat dua gelas kopi sederhana. 
"Kopi hitam tanpa apa-apa." Diorama meletakan gelas-gelas kopi dan dua toples di atas meja.

Kali ini Lintang tidak menambahkan apa-apa ke dalam gelasnya, sedangkan Diorama menambahkan sedikit garam ke dalam gelas kopinya yang masih berasap.

"Siapa yang pesan?" Diorama menyeruput kopinya.
"Perempuan berponi. Sedikit aneh." 
"Aneh gimana maksudnya?" Diorama tersedak mendengar pernyataan Lintang.
Lintang hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. 

Diorama berpikir seaneh apa orangnya karena baru kali ini didengarnya Lintang mengomentari orang lain dengan kata aneh. 

Pengumuman kereta terkahir, terdengar sampai kedai. Diorama melihat jam di tanganya, sepuluh menit lagi, batinnya. Tidak perlu buru-buru. Sesapan kopi terakhir ia nikmati sebelum berpamitan pada Lintang.

Lintang mengantar Diorama sampai pintu gerbang, sekalian mengunci pagarnya dan mematikan lampu neon box bergambar semicolon. 

"Masih buka?" kata perempuan berponi berwajah lesu sambil terengah-engah berdiri di depan pagar. 

"Tidak." Diorama menggeleng tegas.
"Iya." Lintang menjawab hampir bersamaan dengan Diorama. 

Lintang ingat betul wajah perempuan yang memesan pesanan istimewa kala itu, dan akan diambilnya malam ini. Wajah perempuan itu pucat. Rambut nanggungnya berantakan tidak semua terikat. Matanya sembab, sedikit tertutupi kaca mata bulat.

"Kita sudah tutup, Mbak." Bukannya menatap pada wanita di hadapannya, Diorama malah melotot pada Lintang. 

Lintang tidak berkata apa-apa pada Diorama, tapi wajahnya menyiratkan jika dia akan menuruti keinginan perempuan itu. Diorama mengalah, ia melangkah dalam diam meninggalkan kedai. Kepalanya terus berpikir, ia merasa menganal perempuan itu.





Komentar