Carosel
Di hari ulang tahun yang ke lima, ibu berjanji mengajak Lintang ke pasar malam yang ada di kota. Ia sudah tidak sabar, mau naik carosel.
"Kapan jam tiga?" tanya Lintang pada ibu yang sedang membenahi pakaian.
"Masih lama. Tujuh jam lagi."
Lintang krmbali ke lapangan depan rumah. Ia bersandar pada tembok tetangga yang berbatasan dengan lapangan. Matanya memicing karena matahari mulai berjalan pelan menuju barat.
"Eh... Jangan temenin dia." Bocah lelaki gendut berbaju belang biru merah berteriak di tengah lapangan sambil menunjuk Lintang.
"Soalnya, jari tangannya cuma sembilan," tukas bocah itu lagi.
Lintang terkenal dengan sebutan bocah berjari sembilan. Hampir setiap hari menjadi perbincangan para ibu di sekitaran rumahnya.
Lintang tidak gentar. Dengan langkah tegap ia menghampiri bocah bberbaju belang tadi. Tinjunya mendarat tepat di mulut bocah itu. Bocah laki-laki itu menangis keras. Berlari sambil memegangi bibir yang berdarah.
Lintang pulang dengan santainya. Ia berjalan sambil sesekali melompat dan bersenandung kecil.
"Sudah jam tiga?" tanyanya lagi pada ibu yang mulai memasukkan pakaian ke dalam tas sambil menangis.
Ibu menggeleng—buru-buru menghapus air matanya. Ia pergi ke dapur menyiapkan makanan untuk Lintang. Tempe goreng dan nasi kecap adalah menu makan hari ini. Ibu membawa makanan itu ke depan.
"Ibukeluar! Bayar kontrakan!" Gedoran pintu kontrakan tiga petak yang disewanya lima tahun lalu sebelum Lintang lahir.
Ibu Lintang mengintip dari jendela. Ia memejamkan matanya sejenak, menarik napasnya dalam-dalam sebelum membukakan pintu.
"Kapan mau bayar kontrakan? Udah enam bulan nunggak. Saya juga butuh uang, Bu!" Mata penagih kontrakan meloto. Biji matanya seperti mau copot. Napasnya menderu karena amarah yang memuncak.
"Maaf, Bu. Tolong kasih waktu lagi. Nanti kalo ada, langsung saya bayar." Ibu Lintang memelas. Kepalanya menunduk malu. Jari-jemarinya bergerak—saling beradu.
"Saya kasih waktu sepuluh hari, kalau tidak dibayar, ibu harus pergi dari sini." Ibu kontrakan pergi begitu sjaa setelah memberi peringatan.
Baru saja berbalik—hendak masuk ke dalam rumah. Ibu-ibu berdaster biru, berbadan gempal dengan rambut dicepol berteriak.
"Woi! Kalo punya anak diajarin!"
Ibu Lintang berbalik kembali.
"Ibu ngomong sama saya?" katanya dengan gugup.
"Iya, elu. Siapa lagi di sini yang punya anak jarinya cuma sembilan."
Mendengar ribut-ribut, ibu-ibu sekitar kontrakan pada keluar. Ada yang berkerumun ada juga yang berdiri di teras rumahnya.
"Emang kenapa, ya, Bu?" tanyanya lagi, sedikit gemetar.
"Emang kenapa. Emang kenapa. Tanya sono sama anak lu." Ibu berdaster biru itu semakin kalap. Suaranya semakin kencang. Di belakangnya berdiri anak yang juga gempal berbaju belang biru merah sambil menutupi mulutnya.
Ibu Lintang menengok ke belakang. Anaknya sedang makan dengan lahap. Lintang kecil tidak peduli dengan keributan di luar. Ia sibuk menghabiskan makanannya. Ia berpikir semakin cepat habis—semakin cepat pula pergi ke pasar malamnnya.
"Liat, nih, anak gua. Bibirnya jeding—ditonjok anak elu. Ajarinlah yang bener anaknya. Kayak gitu emang kelakuan anak nggak punya bapak. Dasar anak sial!"
Ibu Lintang menunduk semakin dalam. Ia hanya diam tidak melawan. Ia pasrah da menerima ucapan ibu tadi walau Hatinya sangat sakit. Ketika hendak masuk, ia melihat Lintang sudah berdiri diambang pintu. Kepalanya ke luar dan sebagian badannya masih di dalam.
Komentar
Posting Komentar