Stasiun (Bag 2)
Setelah mengembalikan barang milik wanita tadi, pria itu kembali ke peron menunggu kereta menuju kota B. Ia duduk sambil sesekali melihat jam. Salah satu kakinya ia goyangkan seperti orang yang sedang mnggunakan mesin jahit. Sepuluh menit berlalu, kerera belum juga datang. Ia berdiri. Berjalan pelan ke pinggir peron melihat arah datangnya kereta. Gelap. Tidak ada tanda-tanda kereta akan masuk.
Suasana stasiun ramai karena kereta terlambat. Suara tawa terdengar dari kumpulan anak SMP di dekat tangga. Sepasang muda mudi bergandengan tangan sambil bersandar di pagar peron. Bangku-bangku dipenuhi ibu-ibu dan mbak-mbak yang wajahnya terlihat lelah. Pria itu kembali melihat jam lagi. 20.10 angka yang tertera pada jam kotak berwarna hitam di tangannya. Pria itu menghembuskan napas dengan berat. Ia berjanji pada seseorang akan tiba pukul 20.30
Kereta terlambat. Begitu isi pesan singkatnya pada seseorang di ujung sana. Ia kembali berjalan-jalan pelan—Bolak-balik. Tiba-tiba matanya tertuju pada sesuatu berwarna kuning, di sudut di ujung bangku peron.
“Misi,” Sambil tersenyum pada nenek tua yang sedang duduk. Ia berjongkok dan mengambil benda tersebut.
Terdengar pengumuman bahwa kereta akan datang. Suara kereta sudah terdengar sampai stasiun, walau kereta belum menampakan kepalanya. Pria iu memegang benda kuning tersebut yang tenryata adalah lanyard dengan ID card, kartu kereta, dan dompet yang sanga kecil terikat bersama-sama.
Kereta berhenti di depannya. Pintu sudah tebuka. Baru dua langkah berjalan ke arah ruang kesehatan ia berbalik kembali, dengan cepat masuk ke dalam kereta dengan pintu terdekat. Ia berpikir, nanti saja dikembalikannya, karena ia yakin wanita itu sering naik kerera dari stasiun ini.
“Urusanku lebih penting.” Gumamnya dalam hati.
Komentar
Posting Komentar