Surat Dalam Tas (Bag. 1)
Anak laki-laki usia sepuluh tahun itu tertawa sambil berlari-lari mengitari pasar malam, kertas di tangannya diangkat tinggi-tinggi mengitari permain satu ke permainan lainnya. Tapi tidak berapa lama, anak itu terduduk di samping Lintang. Ia bosan karena bocah yang dijahilinya tidak bereaksi.
"Diorama." Ayah memanggil dari tempat penjual karcis bianglala.
Satu per satu orang-orang mulai berdatangan memeriahkan pasar malam. Ada yang bersama keluarga, teman, dan juga pasangannya.
Ayah Diorama menghampiri dua bocah yang sedang duduk di tanah dekat pagar pintu masuk. Diorama masih menggenggam kertas putih yang sudah lecek itu.
"Kamu pegang apa?
Diorama memberikan kertas itu, "Punya dia," katanya sambil menunjuk Lintang dengan kepalanya.
Namanya Lintang. Walau jari tangannya hanya sembilan, tapi dia bukan anak sial. Dia anak baik, hanya saja pendiam. Tolong bantu dia dan bilang maaf saya untuknya.
Mata ayah Diorama melotot. Jantungnya berdegup cepat. Dia pikir hal-hal seperti ini hanya ada dalam cerita fiksi atau sinetron. Kini ia mengalaminya dan itu nyata ada di hadapannya.
"Kita makan, yuk." Kata-kata itu yang keluar dalam kebingungannya.
"Yoookkk ...." Diorama berdiri dan mengibas-ngibaskan celananya dari debu.
Lintang bergeming. Kepalanya masih menunduk tertopang kedua tangan. Ayah Diorama berjongkok, ingin mesejajarkan wajah mereka.
"Kamu Lintang, kan? Saya om kamu. Waktu itu ibu kamu minta saya jemput kamu di sini." Kata-kata bualan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Lintang sedikit menengadah. Mata mereka bertemu. Lintang menangis tersedu. Ayah Diorama memeluknya sambil berjongkok di antara orang yang lalu lalang. Tidak sedikit juga orang-orang yang memperhatikan mereka dan ingin tahu apa yang terjadi.
Komentar
Posting Komentar